Cari Blog Ini

Minggu, 20 Februari 2011

Berusaha Menjadi Ma'rifat yang Sesungguhnya

Hati ini diciptakan Allah untuk menjadi tempat kebahagiaan hakiki. Karena itu hati harus selalu dekat dengan Allah. Bila hati sudah terisi dunia, Allah tidak mau mengisinya. Begitu pun cinta kepada manusia, harus yang dapat mendekatkan kepada Allah.

Cinta kepada anak istri dibolehkan sepanjang menjadi pengingat kepada Allah. Sebaliknya, bila cinta kepada anak istri membuat lalai, berjarak, dan jauh dari Allah, maka segera kurangi cinta itu. Cukuplah cinta sekadarnya saja. Bagaimana pun, makhluk tidak boleh menjadi penghalang cinta kepada Allah.

Jika kita merasa sudah bergaul dengan banyak orang, namun hati merasa tidak nyaman dan terasa keras, ini sebenarnya gejala bahwa Allah masih ingin dekat dengan kita. Tapi bila masih nyaman saja bergaul dan berbincang dengan banyak orang, maka bisa jadi itu gejala hijab dengan Allah.

Sebelum kita minta sesuatu, Allah sudah sangat tahu kebutuhan kita. Karena memang Allah yang membuat kebutuhannya. Tapi, Allah sangat menyukai hamba-Nya yang memohon, berdoa dengan segala kerendahan. Berdoa dengan hati yang bersih, adalah ciri dikabulkannya doa. Jika Allah ingin memberikan mustajab (terkabulnya) doa, maka Allah juga akan memberikan kemampuan kepada seseorang untuk berdoa dengan khusyu.

Ciri seorang ahli ma’rifat adalah selalu merasa membutuhkan Allah. Tidak pernah merasa tenang dan nyaman, bila bersandar kepada selain Allah. Bila mau bicara, ia minta dituntun Allah. Selama bicara pun ia selalu berdoa, minta diampuni jika khilaf. Bila sedekah, ia juga minta diberi keikhlasan. Bila berjalan, minta dijaga pandangannya. Pokoknya, ia selalu minta yang terbaik dari Allah. Sebaliknya, orang yang tidak kenal Allah, jarang meminta kepada Allah. Ia merasa sudah tahu dan bisa berbuat dengan ilmunya.

Orang yang ma’rifat juga sangat takut jika tidak dibimbing dan dilindungi Allah. Kebahagiaannya justru dari ketidaknyamanan karena takut kepada Allah. Karena baginya, kebahagiaan sejati adalah bila takut dan harap kepada Allah semata.

Minggu, 06 Februari 2011

Melewati Suka dan Duka

Kebanyakan manusia lahir sebagai anak-anak lengkap dengan sifat kekanak-kanakannya. Kemudian tumbuh dewasa-sebagian malah sangat berkuasa, namun bagaimana pun hebat kekuasaannya, toh harus melewati masa-masa senja yang kekanak-kanakan lagi.

Demikian juga kisah banyak bangsa. Jepang, sebagai contoh, runtuh oleh kekalahan perang, kemudian pelan-pelan bangkit sebagai perekonomian yang berbasiskan barang murah dan kualitas rendah. Sekarang, sebagaimana kita tahu bersama, ia menjadi kekuatan ekonomi yang menentukan.

Di tengah-tengah sejarah yang by nature ditandai oleh siklus naik turun ini, kebanyakan orang hanya menjadi ’korban tidak berdaya’. Tatkala sejarah bergerak naik, tawa, bahagia yang kerap disertai kesombongan dan kecongkakanlah sahabatnya. Ketika sejarah bergerak turun, kese­dihan dan air mata bergelimang di mana-mana. Jarang bah-

kan sangat jarang terjadi, ada manusia yang berhasil keluar dari perangkap naik turun ini.

Ini yang bisa menjelaskan, kenapa banyak bintang film/sinetron demikian cantik dan bersinar ketika masih jaya. Namun, jangankan kecantikan, yang lebih dalam dari penampilan fisik pun ikut pudar bersama ketidakterkenalannya. Mereka yang demikian cepat meninggal ketika memasuki usia pensiun. Intinya cuma satu, ketika kehidupan bergerak naik, jarang ada orang yang sudah mempersiapkan diri-terutama secara kejiwaan-bahwa cepat atau lambat sang kehidupan pasti bergerak turun

Seluruh ilustrasi ini, tampak jelas bahwa betapa lama kita manusia membiarkan diri menjadi korban tidak berdaya dari siklus suka dan duka. Hampir semua energi kita terkuras habis untuk naik turun bersama siklus tadi. Tidak sedikit persoalan manusia, justru berakar dari sini: hanya siap ketika naik, tidak siap tatkala turun.

Tidak hanya Anda, sebagai manusia biasa saya pun masih ’dipermainkan’ oleh siklus tadi-kendati lewat meningkatnya kedewasaan dampak negatifnya semakin berkurang dan berkurang. Ada semacam kemanjaan untuk hanya menerima pujian, dan menolak kritikan orang lain. Ada sejenis! kemaruk untuk hanya menerima kesenangan, dan menolak kesedihan. Ada dorongan dari dalam, agar keluarga menerima segala kelemahan saya, dan tidak siap menghadapi kenyataan bahwa ada segi hidup saya yang ditolak mereka.

Setelah lama dibuat sangat lelah dengan siklus naik turun ini, saya sedang mempelajari hidup yang melampui suka dan duka. Banyak rekan yang ragu, kalau saya bisa melakukannya. Belum sepenuhnya berhasil memang-kare­na kadang masih dipermainkan siklus tadi, namun ada banyak sekali yang berubah dalam kehidupan saya, setelah jalan melampaui suka dan duka mulai ditempuh. Dengan |

niat hanya untuk berbagi-tidak ada niat lain, dan bahkan kalau ada yang mau melengkapi it’s more than welcome- izinkan saya berbagi cerita bagaimana jalan melampaui suka dan duka saya buka dan jalani.

Pertama, penting sekali menyadari secara sangat dalam, kalau suka dan duka itu pasti-sekali lagi pasti-datang silih berganti. Hanya persoalan waktu saja. Ketika Anda berpelukan dengan rasa suka, sadari dan ingatkan diri kalau dia akan diganti duka. Demikian juga sebaliknya. Tidak ada satu pun makhluk Tuhan yang bisa membantahnya. Dengan kesadaran dan kesiapan seperti ini, pengaruh siklus suka- duka bisa dikurangi dalam kadar yang cukup menentukan. Di tingkatan yang lebih tinggi, belajarlah untuk berpelukan sama mesranya, antara berpelukan dengan suka maupun duka.

Kedua, meminjam logika dalam Roots of Wisdom yang di­tulis Hong Yingming, manusia hidup seperti pemain teater. Ketika berpentas, aktor memiliki martabat dan rasa bangga-lebih-lebih kalau dia dipuja. Aktingnya mungkin bagus. Namun, ketika pertunjukan selesai, ia hanyalah orang biasa. Demikian juga kehidupan setiap orang. Berawal dari orang biasa dan berakhir sebagai orang biasa. Dengan menyadari akar dalam bentuk orang biasa, sehebat apa pun siklus suka-duka, dia tidak akan bisa menghempaskan kita. Sebab, bagaimana bisa terhempas, kalau setiap saat kita mengingatkan diri akan asal muasal kita sebagai orang biasa. Ketiga, baik suka dan duka sebenarnya tidak ada pada jabatan, uang maupun kejadian. Semuanya adalah hasil produksi pikiran. Pikiranlah yang membuatnya demikian. Nah, melampaui suka-duka berarti melampaui pikiran. Ada banyak rekan yang tidak percaya kalau pikiran bisa dilam­paui. Seolah-olah, tidak ada dunia di luar pikiran. Dalam kesederhanaan ingin saya bertutur kepada Anda, dengan

mendalami bahwa ada suka dalam duka, dan ada duka dalam setiap suka, maka kita sudah membuat langkah pertama menuju melampaui sang pikiran.

Kalau kehidupan diibaratkan dengan perjalanan. Dalam kehidupan yang telah melampaui pikiran, di mana-mana tersedia ’petunjuk jalan’. Pada banyak kejadian terbukti, ada saja kekuatan yang membuat kehidupan mengalir tanpa paksaan. Ada memang orang yang menyebut kehidupan seperti ini seperti kaos kaki (baca: selalu diinjak). Ada juga orang yang bahkan menyebut kehidupan seperti ini dengan kehidupan yang tercerahkan. Saya sendiri kurang menyukai sebutan, karena dia juga output pikiran.