Cari Blog Ini

Selasa, 01 Juli 2014

Memilih Pemimpin

Sobatku saya ucapkan selamat menjalankan ibadah puasa bagi umat Islam di seluruh Indonesia. Puasa tahun ini serasa spesial karena di temanin tontonan piala dunia Brazil untuk sekedar pelengkap makan saur tanpa harus mengurangi kekhusuan dalam menjalankan kewajiban ibadah puasa. 

Sembilan hari lagi kita juga akan menjalankan kewajiban sebagai warga negara Indonesia untuk memilih calon pemimpin bangsa kita Indonesia. Ada dua calon presiden yaitu Bapak Prabowo Subianto berpasangan dengan Bapak Hatta Rajasa dan Bapak H Joko Widodo dengan Bapak H Jusuf Kalla. 

Itulah pilihan yang harus kita pilih kalau melihat baik dan buruknya tergantung kita cara melihatnya, tapi paling tidak kita memilih presiden yang terbaik. Dalam bahasa kaedah ushul dikenal dengan ahwanusy-syarrain atau akhofudh-dhororoin : mencari syar’(keburukan) yang lebih ringan atau yang dhoror(bahaya)nya lebih ringan. 

Kita sangat setuju bahwa dalam Islam wajib hukumya untuk mengangkat Imam (kepala Negara). Jangankah kepala Negara , tiga orang yang melakukan perjalanan (safar) harus ada seorang yang diangkat menjadi amir (pemimpin), apalagi ini urusan masyarakat yang lebih banyak dan lebih kompleks. 

Namun, kewajiban mengangkat kepala Negara, bukanlah sekedar adanya pemimpin. Tapi juga berhubungan dengan sistem apa yang akan diterapkan oleh sang kepala Negara. Imam (Kepala Negara) diangkat untuk mengurus urusan kaum muslim baik urusan dunia maupun agama. Dan kaum muslim diurus bukan dengan sembarang hukum, tapi wajib dengan hukum Allah SWT. Karena itu kewajiban mengangkat pemimpin tidak bisa dipisahkan dengan sistem yang dijalankan sang pemimpin. Umat Islam wajib memilih pemimpin tentunya pemimpin yang akan menjalankan berbagai aturan apalagi Indonesia yang manyoritas beragama Islam sudah sewajarnya hukum Islam sebagai acuan utama dalam system hukum negara, bukan hukum lain.

Sementara saat ini, siapapun kepala negaranya dalam sistem demokrasi yang dianut sekarang oleh Indonesia, jelas bukan untuk menjalankan hukum Islam, tapi hukum (konstitusi) sekuler yang dibuat oleh manusia atas prinsip suara terbanyak di parlemen.

Dalam kondisi sekarang yang wajib kita lakukan adalah mempersiapkan sistem negara yang mengacu pada hukum Islam, yang dikenal dengan sistem Khilafah. Dalam sistem Khilafah yang berlaku adalah syariah. Jadi siapapun pemimpin yang terpilih nanti wajib menjalankan peraturan yang yang memihak Islami syukur sekali bila menjadi hukum resmi negara.

Rosulullah saw sendiri mencontohkan saat fase Mekkah , ketika sistem Islam memang belum siap karena kekuasaan dan keamanan belum sepenuhnya ditangan umat Islam , Rosulullah saw tidak terlibat sama sekali dalam sistem hukum dan kepemimpinan jahiliyah saat itu. Bahkan saat dibujuk dengan kekuasan (tahta) untuk menjadi pemimpin oleh kafir Quraisy, Rosulullah saw menolak. 

Sebab beliau tahu kekuasaan yang diberikan itu bukan untuk menjalankan sistem Islam secara penuh, tetapi sekedar kompromi politik. Rosulullah saw tahu persis konsekuensi menerima bujukan itu berarti mencampurkan antar hak dan batil, sesuatu yang sangat bertentangan dengan prinsip Islam.
Sikap Rosulullah SAW sekaligus mencerminkan penolakan terhadap sikap pragmatisme yang hanya memikirkan bagaimana kekuasaan dapat diraih. Padahal kalau menggunakan logika pragmatisme sekarang, apa salahnya Rosulullah mengambil kekuasaan saat itu, bukankah ada gunanya walaupun sedikit ? Bukankah dengan kekuasan itu, kaum muslim sedikit terlepas dari siksaan ? Bukankah dakwahnya akan lebih lapang ? 

Sekali lagi Rosulullah SAW tetap berpegang pada prinsip perjuangan yang tidak mengenal kompromi dan tidak mau terlibat dalam sistem kufur yang ada . Meskipun Rosulullah saw dan sahabat-sahabatnya kemudian harus menghadapi ujian yang berat, berupa hinaan, cercaan, siksaan, hingga pembunuhan. 

Penggunaan kaedah ahwanusysyarain maupun akhofudhdhororoin tidak bisa dijadikan alasan membenarkan bergabung dengan sistem kufur. Apa yang disebut syar atau dhoror haruslah berdasarkan hukum Islam bukan semata-mata hawa nafsu kita. Yang disebut dhoror dalam Islam misalnya kalau memang mengancam nyawa. Itupun kalau kondisinya harus memilih dan tidak ada pilihan lain (deadlock). 

Sementara kalau sekarang kita tidak memilih apakah itu akan mengancam nyawa ? Apakah sekarang kita sudah tidak ada pilihan lain (deadlock). Tentu saja tidak. Kita tidak dalam kondisi terpaksa (sehingga terancam nyawa ) sehingga harus memilih para calon yang semuanya buruk(berdasarkan syariah Islam). Ini bukan pula kondisi deadlock. Ada hal yang sekarang bisa kita lakukan sesegera dan secepat mungkin , yakni berjuang mewujudkan Khilafah Islam. Semakin cepat kita berjuang dan mewujudkan , tentu saja makin baik.. 

Apakah kalau kita tidak memilih berarti apatis dan tidak berarti? Tentu saja tidak. Kalaupun kita tidak memilih, bukan berarti diam. Kita justru terus memperjuangkan hukum Islam dengan sungguh-sungguh dan secepat mungkin . Yang salah , kalau sudah tidak memilih kemudian kita bersikap diam tidak melakukan apa-apa. 

Pilihan untuk tidak memilih bukan pula tidak berarti. Dihadapan Allah SWT kalau kita tidak memilih karena menghindarkan diri dari keharaman , jelas akan mendapat pahala yang besar. Disamping itu, tidak memilih adalah salah satu bentuk perlawanan terhadap sistem kufur yang ada dan upaya menghilangkan legitimasinya. Sebab kalau seluruh umat Islam tidak memilih , karena pemimpin yang ada tidak menerapkan hukum Islam, tentu saja demokrasi akan kehilangan legitimasinya. Hal ini justru akan mempercepat keruntuhan sistem sekuler yang rusak. 

Sebaliknya, dengan partisipasi umat Islam dalam pemilihan ini meskipun sudah tahu pemimpinnya tidak akan menerapkan syariah Islam, justru akan memperkokoh dan memperpanjang umur dari sistem sekuler yang sebenarnya sudah bangkrut. 

Seharusnya kita berjuang sekuat tenaga secara maksimal. Yang terjadi sekarang, malah bersikap minimalis . Memilih untuk mendapat sedikit keuntungan , namun sebaliknya telah mengorbankan hal yang prinsip dalam perjuangan yakni sikap istiqomah dan berpegang teguh pada dinul haq (Islam) . Belum lagi , bagaimana bentuk pertanggungjawaban kita dihadapan Allah SWT kelak. Apa jawaban kita kalau Allah SWT bertanya kepada kita nanti : kenapa anda memiliki pemimpin yang tidak menjalankan sistem Islam padahal anda bisa menolaknya ?. silahkan jawab sendiri..