Cari Blog Ini

Minggu, 15 Maret 2015

Ibuku yang Terbaring Lemah

Ibuku "Supriyati"
Tubuh terbaring lemas, badan kurus, dikedua tanganya banyak terdapat bercak hitam bekas tusukan jarum infus. Di salah satu ruangan khusus rumah sakit pusat jantung nasional di daerah Jakarta barat. Saya duduk dikursi sebelah tempat tidurnya, sambil menatap dalam wajah Ibuku. Dari wajahnya nampak tersirat kelelahan yang luar biasa akibat sakit berkepanjangan yang tidak tau kapan akan sembuh total seperti sedia kala. Bukan bermaksud tidak percaya dengan penanganan medis oleh dokter dan perawat yang merawat, tetapi kondisi Ibu yang sangat lemah. Tak sadar air mata saya meleleh dan hidung terasa tersumbat, buru-buru saya mengusapnya agar tidak diketahui oleh zuster. Saya berusaha menghilangkan jauh-jauh pikiran buruk, saya hanya ingin Ibu sembuh dan sembuh.

Terbayang kenangan masa lalu ketika Ibuku sehat yang selalu ceria dan periang, dimana saya dimanjakan dari mulai saya kecil hingga saat dewasa seperti sekarang ini, Masih ku ingat senyumnya, candanya dan ketika beliau marahpun selalu ku ingat. Saya sadar betul Dia selalu membimbing dan memberikan yang terbaik buat anak-anaknya agar dikemudian hari anaknya menjadi manusia yang berhasil dan dapat mengangkat derajatnya. Sepanjang kehidupan manusia, sosok Ibu memang tidak akan pernah bisa tergantikan dalam kehidupan kita sebagai seorang yang penuh kasih sayang yang memberikan segalanya tanpa balas jasa.

Ia menjadi guru yang tak minta dibayar, menjadi pembantu yang tak pernah mengeluh, menjadi pengasuh yang paling setia. Sesekali beliau menjadi bidadari yang menyanyikan senandung kidung untuk anak-anaknya. Begitu pula dikeesokan harinya Dia menjelma sebagai penjaga yang tangguh ketika anaknya diganggu atau Dia kadang berlaku seperti kelinci bertingkah lucu demi menghibur anaknya yang sedang rewel.

Tak ada yang dilakukanya di setiap pagi sebelum menyiapkan sarapan anak-anaknya yang akan berangkat ke sekolah. Tak satupun yang paling ditunggu kepulanganya selain suami dan anak-anak tercinta. Serta merta kalimat-kalimat "sudah makan belum?" tak lupa keluar dari bibirnya. Saat baru saja memasuki rumah. Tak peduli meski si kecil yang dulu kerap Ia timang dalam dekapannya itu, sekarang sudah menjadi orang dewasa yang bisa hanya menatap wajahmu oh..Ibuku sayang... Apakah hanya ini yang bisa saya lakukan selain berdoa untuk kesembuhanmu ?.

Hari ketika anaknya yang telah dewasa mampu menganbil keputusan terpenting dalam hidupnya, untuk menentukan jalan hidup bersama orang lain. Siapakah yang paling menangis?. Siapa yang lebih dulu menitikan air mata? Lihatlah disudut matanya telah menjadi samudera air dalam sekejap. Langkah beratnya ikhlas mengantar buah hatinya ke kursi pelaminan. Ia menangis haru melihat anaknya tersenyum bahagia dibalut busana pengantin. Di saat Ia pun sadar, buah hati yang bertahun tahun menjadi kubangan curahan cintanya itu tak lagi hanya miliknya. Ada satu hati yang tertambat, yang dalam harapnya Ia berlirih "masihkah kau anakku?".

Sejak saya kecil Ibu telah mengajarkan arti cinta sebenarnya. Ibulah madrasah cintaku. Ibulah sekolah yang hanya punya satu mata pelajaran yaitu "CINTA". Sekolah yang hanya punya satu guru yaitu "PECINTA" sekolah yang semua muridnya diberi satu nama "ANAKKU TERCINTA".

Hari ini di tempat tidur rumah sakit lantai lima Ibuku terbaring, saya selalu berharap semoga Beliau masih bisa melihat anak-ananku tumbuh dewasa. Saya ingin selalu meminta bimbingan cara mengasuh anakku seperti dulu Ia mengasuh saya. Saya ingin selalu menceritakan keberhasilan kehidupan saya dan ingin selalu mengadu dan meminta nasehatnya.

Semoga lekas sembuh Ibu....