Cari Blog Ini

Selasa, 29 Juni 2010

Gangguan Jiwa atau Orang Gila

.
Rambut acak – acakan, badan tak terurus, kumal, tanpa pakaian, berjalan dengan kekehan tanpa sebab sambil menggaruk – garukkan tangan ke kepala. Itu yang kita sering lihat di jalan atau di keramaian pasar. Melakukan sesuatu di luar kewajaran, di luar apa yang menjadi kebiasaan, norma, atau aturan orang kebanyakan. ini definisi terumum mengenai gila.

Apa pun reaksi spontan Anda, itulah cerminan persepsi Anda terhadap orang yang sakit jiwa. Penyakit jiwa, sampai saat ini masih dianggap sebagai penyakit yang memalukan, menjadi aib bagi si penderita dan keluarganya. Masyarakat kita menyebut penyakit jiwa pada tingkat yang paling kronis, seperti hilang ingatan, dengan sebutan yang sebenarnya sangat kasar seperti: sinting, otak miring atau gila (istilah yang menurut seorang psikolog sudah tidak dipakai lagi dalam dunia psikologi) serta sebutan-sebutan kasar lainnya.

Gila yang saya maksud disini adalah Gila dalam konotasi yang sebenarnya. Gila yang dianggap menjijikan, gila yang dijauhi masyarakat, gila yang membuat banyak orang menunjukan pandangan jengahnya terhadap sesuatu. Bukan gila yang di gunakan sebagai parameter keunikan sesuatu seperti : “Gila lu, yang bener?”

Orang-orang sakit jiwa yang sering kita lihat berkeliaran di jalan-jalan, di pasar-pasar dan di keramaian, tentunya mereka juga punya keluarga. Namun, mungkin karena faktor ekonomi, sosial atau faktor lainnya, mereka tidak dirawat dan ditelantarkan oleh keluarganya. Akibatnya, kondisinya semakin parah sampai tidak mungkin bisa disembuhkan lagi. Kalaupun bisa mungkin sangat sulit dan memakan waktu lama. Dan masyarakat pun menganggapnya sebagai manusia hina, kotor dan tak berharga, sampah sosial yang hanya pantas jadi bahan tertawaan, cemoohan dan hinaan. Tragis nian nasib mereka.

Memang kehidupan modern dewasa ini telah tampil dalam dua wajah yang antagonistik. Di satu sisi modernisme telah berhasil mewujudkan kemajuan yang spektakuler, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Di sisi lain, ia telah menampilkan wajah kemanusiaan yang buram berupa kemanusiaan modern sebagai kesengsaraan rohaniah. Modernitas telah menyeret manusia pada kegersangan spiritual. Ekses ini merupakan konsekuensi logis dari paradigma modernisme yang terlalu bersifat materialistik dan mekanistik, dan unsur nilai-nilai normatif yang telah terabaikan. Hingga melahirkan problem-problem kejiwaan yang variatif.

Kemudian bagaimana pandangan ajaran Islam tentang orang gila,? tentu saja mereka di bebasakan dari segala kewajiban perintah Allah.SWT seperti larangan menjalankan Hukum. Seperti salah satu contoh kisah pada jaman Nabi yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh r.a berkata :

"Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah saw. saat itu beliau berada di masjid. Laki-laki itu memanggil beliau, 'Wahai Rasulullah, aku telah berzina!' Namun Rasulullah saw. berpaling darinya, sehingga ia mengulangi pengakuannya sampai empat kali. Setelah ia bersaksi atas dirinya sebanyak empat kali persaksian Rasulullah memanggilnya dan bertanya, 'Apakah engkau gila?' Ia menjawab, ' Tidak!' 'Apakah engkau sudah menikah?' tanya beliau. 'Sudah!' katanya. Maka Nabi saw. berkata, 'Bawa dia dan rajamlah'," (HR Bukhari [V/68]).

Maka :

1. Apabila orang gila laki-laki ataupun perempuan terkena hukum hudud maka hukuman tidak dijalankan atasnya. Karena pena telah diangkat atasnya hingga ia sembuh. Oleh karena itulah Rasulullah saw. bertanya kepada laki-laki tersebut, "Apakah engkau gila?"
2. Di antara para sahabat yang memutuskan hukum ini ialah Ali bin Abi Thalib r.a dan disetujui oleh Umar r.a.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas r.a, ia berkata,

"Dihadapkan kepada Umar seorang wanita gila yang berzina. Beliau bermusyawarah dengan beberapa orang untuk memutuskan hukumnya. Umar memerintahkan agar wanita itu dirajam. Lalu wanita itu dibawa dan kebetulan melintas di hadapan ALi bin Abi Thalib r.a. Beliau bertanya, 'Ada apa dengan perempuan ini?' Mereka menjawab, 'Ia adalah perempuan gila dari bani Fulan telah berzina. Umar memerintahkan agar ia dirajam.' Ali berkata, 'Lepaskanlah ia.' Kemudian Ali mendatangi Umar dan berkata, 'Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau ketahui bahwa pena telah diangkat atas tiga macam orang: atas orang gila hingga ia sembuh, atas orang tidur hingga bangun, atas anak kecil hingga ia baligh.' Umar menjawab, 'Tentu saja.' Ali berkata, 'Kalau begitu bebaskan ia.' Umar berkata, 'Ya, bebaskan ia.' Maka Ali pun bertakbir'."Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Ali berkata, "Tidakkah engkau ingat bahwa Rasulullah saw. bersabda, 'Diangkat pena atas tiga orang. orang gila yang tidak beres akalnya hingga ia sembuh, orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia baligh'." Umar menjawab, "Benar!" Ali berkata, "Kalau begitu bebaskanlah!" (Shahih, HR Abu Dawud [4399]).

Maka sangat tidaklah pantas apabila kita mengejek atau memperlakukan orang Gila, seandainya kita tidak suka janganlah kita menghinanya. Mereka seperti itu bukan karena keinginannya. Lebih karena kondisi atau memang sudah menjadi jalan hidupnya “qodar“.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar