Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam menjelaskan bahwa seorang pemimpin yang adil adalah
seorang yang mengikuti perintah Allah dengan meletakkan sesuatu pada tempatnya
tanpa berlebihan dan tidak pula meremehkan, maka dialah yang termasuk di antara
yang mendapatkan perlindungan Allah pada hari kiamat pada hari yang tiada
naungan kecuali naungannya, dan bahwa dia termasuk diantara ahli surga,
sebagaimana yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya dari hadits Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
”Ada tujuh golongan yang Allah beri naungan pada hari kiamat
di bawah naungan-Nya dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: seorang
pemimpin yang adil, seorang pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah,
seorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sendiri lalu berlinang air
matanya, seorang laki-laki yang hatinya terpaut dengan masjid, dua orang yang
saling mencintai karena Allah, seorang lelaki yang dirayu oleh seorang wanita
berkedudukan dan berparas cantik lalu ia berkata: sesungguhnya aku takut kepada
Allah, seorang yang bersedekah lalu dia menyembunyikannya sehingga tangan
kirinya tidak mengetahui apa yang dikerjakan oleh tangan kanannya.”
Dan
dikeluarkan pula oleh Imam Muslim dalam shahihnya dari ‘Iyyadh bin Himar al-
mujasyi’i bahwa Rasululullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Penduduk suurga ada
tiga golongan: penguasa yang adil, bersedekah dan mendapat taufik, dan seorang
yang pengasih, berhati lembut kepada setiap kerabat dan setiap muslim, seorang
yang miskin dan memelihara kehormatannya (merasa cukup dengan apa yang ada),
dan memiliki tanggungan keluarga.”
Pemimpin
yang adil adalah yang bijaksana dalam kepemimpinannya, dan seorang penguasa
yang adil tidak tertolak do’anya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Tirmidzi
dalam sunan-nya dari hadits Abu Hurairah berkata: bersabda Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam:
“Tiga golongan yang
tidak ditolak do’anya: orang yang berpuasa hingga dia berbuka, seorang pemimpin
yang adil, dan do’anya orang yang terdzalimi, Allah mengangkatnya di atas awan
dan membukakan baginya pintu-pintu langit, dan Allah berfirman: “Demi
kemuliaan-Ku, aku pasti akan menolongmu kapan saja.” (Riwayat ini dilemahkan
Al- Allamah Al-Albani dalam silsilah al-ahadits adh-dho’ifah:jil:3, no: 1358.
-Pent.)
Pada zaman sekarang semakin ramai orang
berlomba-lomba mengejar jabatan, berebut kedudukan sehingga menjadikannya
sebagai sebuah obsesi hidup. Menurut mereka yang menganut paham atau prinsip
ini, tidak lengkap rasanya selagi hayat dikandung badan, kalau tidak pernah
(meski sekali) menjadi orang penting, dihormati dan dihargai di lingkungan
kelompoknya/masyarakat.
Jabatan baik formal maupun informal di negeri
kita Indonesia dipandang sebagai sebuah "aset", karena ia baik
langsung maupun tidak langsung berkonsekwensi kepada keuntungan, kelebihan,
kemudahan, kesenangan, dan setumpuk keistimewaan lainnya. Maka tidaklah heran
menjadi kepala dari mulai supervisor, manajer, derektur, bupati, walikota, gubernur,
presiden, anggota dewan dan sebagainya merupakan impian dan obsesi semua orang.
Mereka berebut mengejar jabatan tanpa mengetahui
siapa sebenarnya dirinya, bagaimana kemampuannya, dan layakkah dirinya memegang
jabatan (kepemimpinan) tersebut. Parahnya lagi, mereka kurang (tidak) memiliki
pemahaman yang benar tentang hakikat kepemimpinan itu sendiri. Karena
menganggap jabatan adalah keistimewaan, fasilitas, kewenangan tanpa batas,
kebanggaan dan popularitas. Padahal jabatan adalah tanggung jawab, pengorbanan,
pelayanan, dan keteladanan yang dilihat dan dinilai banyak orang.
Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup umat
Islam sudah mengatur sejak awal bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi
seorang pemimpin. Kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukan sekedar kontrak
sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan
perjanjian antara dia dengan Allah swt. Lihat Q. S. Al-Baqarah (2): 124,
"Dan
ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan
larangan (amanat), lalu Ibrahim melaksanakannya dengan baik. Allah
berfirman: Sesungguhnya Aku akan
menjadikan engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya: Dan dari keturunanku
juga (dijadikan pemimpin)? Allah swt menjawab: Janji (amanat)Ku ini tidak
(berhak) diperoleh orang zalim".
Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt,
bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan
melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam
menjalankan tanggung jawab dalam organisasinya atau melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang,
hendaknya semakin meningkatkan kemampuan dalam memimpin tentunya sesuai lingkup kekuasaanya. Bukan sebaliknya,
digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan
sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari
Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.
Karena itu pula, ketika sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr, meminta suatu jabatan, Nabi saw bersabda: "Kamu lemah, dan ini adalah amanah
sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di hari kemudian (bila
disia-siakan)".(H. R. Muslim).
Sikap yang sama juga ditunjukkan Nabi saw ketika
seseorang meminta jabatan kepada beliau, dimana orang itu berkata:
"Ya
Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang diberikan
Allah kepadamu. "Maka jawab Rasulullah saw: "Demi Allah Kami tidak
mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau
ambisi pada jabatan itu".(H. R. Bukhari Muslim).
Kepemimpinan adalah keadilan. Keadilan adalah
lawan dari penganiayaan, penindasan dan pilih kasih. Keadilan harus dirasakan
oleh semua pihak dan golongan. Diantara bentuknya adalah dengan mengambil
keputusan yang adil antara dua pihak yang berselisih, mengurus dan melayani
semua lapisan di bawahnya tanpa memandang siapa dia, dari mana dia dan latar
belakang. Lihat Q. S. Shad (38): 22,
"Wahai
Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara
manusia dengan hak (adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu".
Jadi kalau ada pemimpin yang pilih kasih hanya
karena suka dan tidak suka. Tipe pemimpin seperti ini biasanya mempunyai sifat
penjilat dalam arti dia mendapatkan kekuasaanya dengan cara menjilat atau cari
muka dan itu akan berpengaruh dalam memilih pemimpin di bawahnya. Sudah pasti
yang dipilih adalah orang orang yang bisa mendekati dirinya tanpa melihat
kemapuanya. Maka jangan heran kalau gaya kepemimpinan seperti itu akan menghasilkan
divisa yang rapuh dan lemah…
Benar atau tidak silahkan di cerna sendiri…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar